Rabu, 06 Juni 2012


galau ...{gundah gulana}
karna mu

Cerita ini bermula ketika seorang pemuda mulai mencari jati diri, mulai menginjak masa – masa yang berat karena semua masalah sudah mulai mendera hidupnya, terutama masalah Cinta. Kisah ini bermula ketika dia mulai kuliah dan bertemu dengan seorang wanita. Awalnya semua nya biasa-biasa saja tapi setelah beberapa lama berkenalan semuanya mulai berubah, hal-hal seperti rasa suka mulai mendera di dalam hati pemuda ini.

Awalnya dia hanya ingin menyimpan rasa cinta itu sendiri, tapi akhirnya karena sudah tak tertahan lagi, mulai lah dia bercerita kepada temannya bahwa dia menyukai seseorang wanita, sang teman hanya bisa memberikan solusi, dan akhirnya dia mengatakan agar rasa itu untuk di sampaikan.

Dengan rasa berani dan di dukung secara moral oleh temannya, akhirnya rasa itu di ungkapkan kepada sang wanita. Dia memilih momen di malam hari. Sungguh di luar pikiran nya akhirnya dia mengatakan pada malam itu. Dia sangat serius mengatakan nya dan di campur dengan rasa gugup tapi sang wanita menanggapi keseriusan itu dengan tertawa..

Malam itu mulai lah terjadi sebuah percakapan, semua rasa pun di curahkan oleh sang pemuda: “kamu udah punya cowok.?”, “hehe.. belum knapa.?”, “kamu tau gak kalau aku suka kamu”,”hah..? sejak kapan” ,”sudah lama sih, kamu mau gak jadi pacar aku”, “Aku belum bisa memutuskan iya atau tidak”, “kenapa” , “karena sekarang saya bingung kalau saya terima atau saya tolak” , “loh kok harus bingung, kan hanya jawab iya atau tidak..!!” , “Biar saja waktu yang menjawab semuanya”.

Dengan perasaan agak kecewa sang pemuda akhirnya menerima semua jawaban itu, setelah mengantarnya pulang sang pemuda berpamitan pulang kerumahnya dengan kepala tertunduk lesu. Akhirnya semua apa yang ditakutkannya slama ini akhirnya dirasakan juga.

Malam berlalu dan pagi pun datang, sang pemuda menceritakan semua nya kepada temannya, temannya hanya bisa mengatakan “Semua itu pasti ada proses nya usahakan aja dulu untuk mendapatkan jawabannya”. Kemudia pemuda tersebut kembali bersemangat. Setiap malam dia mulai berkomunikasi lewat sms dengan sang wanita, untuk melakukan pendekatan alias Pedekate.

Sebulan sudah semuanya sudah dilewatinya, menunggu kabar dari sang wanita. Tapi sang wanita juga tidak mau memberikan jawaban iya atau tidak. Tapi semuanya terjawab dengan miris, dengan hati luka dia mengetahui kalau sang wanita idaman sudah mempunyai pemuda impiannya. Menanggapi semua itu sang pemuda membuat sebuah surat, bukan surat cinta tapi surat patah hati:




Dear wanita idaman ku


Sebenarnya hati saya terluka mengetahui semuanya, tapi apalah daya mungkin seperti inilah kehendak tuhan, saya akan mulai melupakan rasa cinta ku slama ini. Saya sudah ikhlas menerima semua nya, saya akan slalu berdoa hal yang terbaik untuk kita berdua.

Mungkin tuhan hanya menjadikan engkau sebagai sebuah fase cinta yang hanya untuk saya lewati bukan untuk ku miliki. Biar lah saya simpan cerita cinta ini sendiri, untuk menjadi sebuah cerita cinta yang hanya akan diceritakan di suatu saat nanti.

Smoga kamu bahagia dengan cinta pemuda yang kau pilih.



Tertanda pemuda yang pernah memuja mu




Pemuda itu memberikan suratnya dengan perantara seorang temannya, setelah menerima surat itu, sang wanita hanya bisa meminta maaf atas semuanya, karena sudah menyakiti hati dari pemuda itu, dia menjelaskan semua alasan dia tak mau meberi jawaban. Dengan panjang lebar semuanya sudah di jelaskannya. dengan lapang dada sang pemuda menerima semua kenyataan cinta nya harus bertepuk sebelah tangan.



Setelah semua kejadian itu pemuda ini sangat banyak memetik pelajaran, tapi sempat terlintas dalam benak nya “Andai saja tak pernah saya ungkap semua rasa ini, mungkin semuanya tak akan seperti ini “ , Tapi ya sudalah semuanya sudah terjadi ambil saja poin positive nya aja. Dari pada saya pendam sendiri bisa-bisa jadi penyakit di hati.


Tanpa lupa berdo’a kepada sang khalik :

” Oh tuhan lah aku…

Hapuskan rasa cinta ku

Aku pun ingin bahagia

Walau tak bersama dia “


Dan sekarang pemuda tersebut mulai menata suasana hati nya, mulai melakukan hal yang lain, dan menganggap semua kejadian itu tak pernah di alaminya, karena dia gak mau memikirkan orang yang sudah membuat hatinya terluka… dia berfikir gak Cuma dia sendiri wanita yang hidup di Dunia ini.

cerpen sahabat ku


Ini benar-benar bulan Desember. Hujan dimana-mana. Jalanan basah. Langit hitam menggantung sepanjang hari. Dan angin bertiup terlalu kencang. Dingin menusuk tulang. Musim penghujan tahun ini datang terlambat, mungkin akan lama. Untung saja, kotaku yang kecil bukan termasuk wilayah langganan banjir. Bukan karena disiplin penghuninya, tetapi rasio penduduk dan luas wilayah sangat tidak sebanding. Membuat iri mereka yang tinggal di kota besar yang padat dan sumpek. Kotaku kecil sehingga tidak memerlukan kerja ekstra untuk mengurusnya.


Aku sangat berterima kasih kepada Tuhan, dilahirkan dan dibesarkan di kota itu. Apalagi setiap musim penghujan, aku paling suka melihat jalanan kotaku basah. Dedaunan di sepanjang jalan terlihat mengkilat pada sore hari. Terpaan lampu kota membuat deretan pohon di sepanjang jalan layaknya pagar besi berkilau. Aku suka itu!


Sore ini, angin bertiup terlalu kencang. Hujan sejak pukul 12 siang tadi belum juga berhenti, meski kini tinggal gerimis. Dari balik jendela sebuah caffe shop di pinggir kotaku,, aku duduk menikmati gerimis itu. Gerimis yang telah lama tidak aku temukan hampir sepanjang tahun ini. Sekaligus gerimis yang selalu membuka beragam cerita yang menumpuk di sudut batinku. Aku duduk di situ ditemani segelas cappucino sambil menghisap rokok, pelan dan dalam. Mestinya aku merasa damai berada di situ, nyaman dan melonggarkan pikiran. 


Tetapi sore itu tidak!
Aku memang selalu datang ke tepat itu setiap sore sehabis mengirimkan tulisan ke media yang bisa memuat esai-esai ‘kacau’-ku. Melepas penat dan mungkin akan menemukan ide baru untuk bahan tulisan keesokan harinya. Terlalu sering aku di situ. Hingga hampir seluruh pelayan mengenalku. Keuntungannya, setiap aku masuk tanpa ditanya menu, langsung dipersilahkan duduk di meja dekat jendela yang terletak di sudut ruangan. Tempat yang aku suka!


Anehnya, sore itu aku menemukan diriku tidak biasanya. Perasaan ini semakin aneh manakala melihat kaca jendela kusam dan buram. Kuusap dengan tangan, terlihat beberapa anak bermain air di pinggir jalan. Anak jalanan! Meski kotaku kecil, namanya anak jalanan tetap saja ada. Tentu saja dengan tingkat kerumitan permasalahan yang berbeda. Anak jalanan di kotaku masih memiliki rumah dan orang tua. Hanya saja orang tua mereka tidak memiliki pekerjaan tetap sehingga anak-anak mereka tidak terurus. Berbeda dengan di kota besar yang ‘tuna’ segala-galanya. Bahkan orang tua saja mereka bingung menentukan siapa dan dimana.


Aku tersenyum melihat tingkah mereka yang polos. Bermain air, saling menendang, memukul, berputar, berlari, tanpa beban. Suasana tawa dalam guyuran gerimis di luar terasa ringan. Seringan kapas! Berbeda dengan suasana nyaman di sini, di sudut ruangan yang cozzy –kata anak-anak muda—tetapi terasa berat, seberat awan hitam yang menggantung. Nyaris jatuh. 
“Sedang menunggu seseorang?” suara perempuan mengoyak lamunanku. Perempuan muda dengan senyum enteng kutemukan telah duduk tepat di depanku. Sejak aku mengenal dan menjadikan coffe ini tempat favorit untuk meliarkan khayalan, baru sore itu ada perempuan datang dan duduk tanpa aku minta. Aku agak gelagapan.
“Tidak juga. Kamu…,” aku belum menemukan pertanyaan yang sesuai untuk sebuah ketiba-tibaan. Aku panggil ‘kamu’ karena aku yakin usia perempuan ini jauh di bawahku. 
“Maaf, jika mengganggu,” celetuknya.
“Tidak juga,” terpaksa aku mengulang kalimatku. “Terima kasih telah mamu duduk di meja ini.”


Ya! Aku formal banget. Perempuan itu tersenyum. Mungkin menertawai sikapku yang diluar perkiraannya. Aku bisa menebak, dipikirnya aku akan langsung menyodorkan senyum menggoda dan bergerak sangat agresif. Jujur, aku memang sering seperti itu tetapi bukan untuk sebuah ketiba-tibaan yang menghilangkan segala kecerdasanku. Benar! Aku terasa seperti lelaki lugu.


Perempuan itu membetulkan posisi duduknya.
“Aku baru dua kali kesini. Pertama tiga hari lalu, dan duduk di meja ini,” katanya. Aku mengingat tiga hari yang lalu, memang aku tidak ngopi di sini. Aku ke rumah teman di luar kota. “Dan sore ini, ternyata tempat ini enak juga ya…,” lanjutnya.
“Aku sering ke sini,” jawabku seolah menyiratkan di meja inilah tempatku!
“O…ya?”
“Hampir setiap sore. Dan duduk di sini.”
“Selalu di sini?” tanya perempuan itu lagi.
“Ini tempat yang terlindung,” jawabku sambil melirik ke pot-pot bunga yang berjejer mengelilingi sudut ruangan tempat favoritku. “Tidak terlihat tetapi bisa melihat siapa saja yag masuk.”
“Pilihan tepat. Lalu kenapa tadi aku mengejutkanmu?”


Sialan! Rupanya dia tahu kalau aku tadi sangat terkejut melihat kedatangannya.
“Lihat anak-anak itu! Mereka membuatku tidak menyadari ada seseorang telah berada di depanku,” jawabku sekenanya. Perempuan itu tersenyum. Giginya terlihat sangat terawat. 
“Maaf, kita belum kenalan, Oka…” kusodorkan tangan. Dia menyambut tanpa ragu.
“Jenny.”
“Baru di kota ini?”
“Betul. Aku tinggal bersama saudara sepupu di ujung jalan ini,” jawabnya.


Setelah berkenalan itulah, pembicaraanku dan Jenny berlangsung lancar. Bahkan kini terlihat bakat asliku; agresif dan suka memutar balik logika kalimat lawan bicara. Tak terasa hampir dua jam, aku dan Jenny terlibat pembicaraan tanpa arah. Ringan tetapi aku tahu, Jenny sangat suka. Bahkan dengan gayanya yang khas Jenny menceritakan kondisi keluarganya di Jakarta yang berantakan. Ayahnya harus balik ke Singapura sedangkan ibunya tetap tinggal di Jakarta, serumah dengan pria selingkuhannya. Aku menghela napas panjang dan dalam. Dari dulu, peroblematika hidup kota besar tak jauh bergeser. Cinta, uang, pengkhianatan….klise! Bentakku dalam hati. 


Hujan di luar sedikit mereda. Tetapi jalanan mulai gelap. Temaram lampu kota, sekuat tenaga menembus dinginnya udara basah. Kulihat Jenny semakin menikmati suasana, seolah ingin melepaskan beban yang puluhan tahun menimbun kebebasannya.
“Apa tidak terlalu malam?” kataku mengingatkan.
“Aku masih suka di sini. Oka keberatan?” 
Aku menggeleng.


Akhirnya aku melanjutkan pertemuan itu hingga larut malam. Jenny memang luar biasa dengan segala permasalahan hidupnya. Diceritakan dengan detail, mungkin tanpa tertinggal secuilpun. Aku menikmatinya. Keliaran pikiranku menangkap cerita Jenny dengan penuh semangat. Ini ide hebat! Pikirku.


Hingga pagi. Tetapi tidak di coffe itu lagi. Kutemukan tubuhku, lunglai dalam pelukan Jenny. Malam yang penuh gerimis telah membuka segala cerita, menimbun segala duka. Ini sisi kreatifku yang terkadang muncul tanpa kusadari. Maaf…
*   *   *


Kubatalkan semua rencana yang telah kususun rapi sejak semalam. Ke rumah teman, lantas mampir ke perpustakaan kota, dan ngopi di tempat biasa. Semangatku mendadak terbang menyelinap di sela mendung yang membekap matahari pagi. Kini, gelapnya langit benar-benar membunuh ketenangannku. Lantas mengumbar kecemasan yang sangat hebat. Aku tidak tahu harus melakukan apa untuk menyingkirkan kenyataan mengerikan akan mengusik kenyamanan pagiku. Mungkin juga kenyamanan seluruh usia hidupku.


Kubaca koran pagi; Jenny bunuh diri! 
Seorang perempuan, tengah malam, ditemukan tewas tergeletak di pinggir rel kereta dekat gerbang masuk kota. Diduga, perempuan itu menabrakkan diri ke kereta barang yang melintas dengan kecepatan tinggi. Polisi berhasil menemukan indentitas dalam tasnya, korban bernama Jenny, 27 tahun, warga Jakarta yang baru beberapa hari tinggal di kota ini…Kulipat koran itu, napasku seolah berhenti sesaat. Tetapi jantungku berdegub jauh lebih kencang. Itu perempuan yang bersamaku kemarin malam!


Aku membaca berita singkat itu sekali lagi. Sama. Aku yakin itu Jenny! Tetapi kenapa dia melakukan hal bodoh itu? Kuhisap rokok sekedar menenangkan pikiran. Tetapu justru malah blingsatan dan menyiksa. Entah apa yang sedang terjadi dalam pikiranku, aku tidak tahu. Sedih. Takut. Bersalah. Semua jadi satu! Apalagi ketika paragraf terakhir berita itu kubaca; hasil visum tim dokter menyatakan kalau korban sedang hamil dua bulan. Keringat dingin meluncur tak tertahankan lagi.


Apa karena kehamilannya itu membuat Jenny nekad? Berpuluh ingatan singkat tentang Jenny memenuhi pikiranku. Aku terduduk. Lemas. Kurasakan angin dingin menyelinap menggerakkan dedaunan di luar dan menelusup melalui celah jendela. Kemarin malam, seolah tanpa beban, Jenny menjelaskan sebagian peristiwa hidupnya.
“Kau tidak menyesal?” tanyaku.
“Lama sekali aku tidak mengenal perasaan itu.”
“Kenapa?”
“Kedua orang tuaku, seolah mengajarkan jika penyesalan adalah bentuk pengingkaran,” Jenny menerawang kosong. Aku yakin, ada beban teramat berat menggunung dalam batinnya.
“Rupanya ada bagian masa lalu yang menyakitkan?”
“Bukan sebagian hampir seluruhnya. Semua peristiwa terjadi pada diri kita seolah diluar rencana baik yang kita susun. Aku tidak memiliki kekuatan untuk menghentikan rangkaian peristiwa itu. Jadi, suka atau tidak, harus dijalani,” jelas Jenny sangat dalam.
“Meski peristiwa itu akibat ulah kita sendiri?”
“Hanya persoalan cara pandang saja,” tukasnya pendek.


Selanjutnya, tanpa beban secuilpun menganggu perasaannya, Jenny menceritakan pertengkaran kedua orang tuanya pada suatu malam. Pertengkaran yang hebat! Ketika itu, Jenny tidak mengerti pangkal permasalahan sebenarnya. Yang dia lihat, ayahnya menampar ibunya. Ibu lebih berani lagi, membantah dan melontarkan kalimat kasar. Bukan layaknya suami-istri. Jenny menangis menyaksikan semuanya dari balik jendela. Sejak itu, ayahnya jarang pulang sedangkan dia sendiri pergi menumpang rumah teman, agak jauh dari rumahnya. 


Terakhir, Jenny mendapat kabar, kalau ayahnya telah pulang ke negara asalnya, Singapura. Sedangkan ibunya pergi bersama lelaki selingkuhannya. Jenny sendiri…merasa menemukan jalan hidupnya danm menikmatinya seolah ingin membunuh peristiwa menyakitkan yang merubah jalan hidup normalnya itu. 
“Dan aku hamil,” kata Jenny pelan. Aku tak tahu harus bersikap apa. Kalimat itu seakan ditujukan kepadaku dan menanti agar aku mampu mengurai beban hidupnya. Aku tahu, apapun alasannya, ini adalah kesalahan yang mesti diperbaiki. Tetapi bagaimana caranya? Ternyata dibalik keceriaan Jenny ketika awal berkenalan, tersimpan peristiwa cukup berat. Senyumnya mungkin untuk membunuh siksaan beban itu. 


Aku tangkap tangan Jenny. Tiba-tiba kami menjadi sangat akrab.
“Itu alasannya hingga kamu meninggalkan Jakarta?”
“Kota itu terlalu menyiksa,” celetuknya pelan.
“Berarti akan lama tinggal di kota ini?”
“Belum tahu juga. Aku juga nggak enak dengan sepupuku.”  


Begitulah, malam terus merambat hingga larut membawa pagi. Aku lebur dalam duka Jenny yang mungkin tidak akan tersembuhkan. Aku sadar, kehadiranku hanya akan melupakan bebannya sesaat. Tidak akan lama! Tetapi pertemuan singkat itu, terasa begitu bermakna. Apalagi ketika matahari menyelinap melalui lubang jendela, mengusik tidurku. Kelelahan. 


Dan pagi ini…
Kutemukan tubuh yang penuh duka itu, kini penuh luka. Kuambil rokok, entah batang yang keberapa. Asbakpun telah penuh. Namun batinku tetap saja blingsatan. Pagi ini benar-benar hancur. Seperti kalimat Jenny kemarin malam, penyesalan hanyalah wujud pengingkaran. Memang semua garis peristiwa hidup harus dijalani tanpa protes sedikitpun. Karena manusia memang tidak layak untuk protes. Dan mungkin saja –aku ragu menggunakan kata ‘mungkin’—Jenny telah melanjutkan garis peristiwa kehidupannya. Tanpa menyesal sedikitpun!


Kulirik koran yang terlipat di meja. Terlihat foto tubuh Jenny, terbungkus kantung warna merah. Dan…dia hamil! Aku tersentak. Nyaris tersedak. Berdiri. Dan melihat ke arah jendela, menerawang kosong. Berpuluh kenangan menjejal dalam pikiran. Ketakutanku pun memuncak. Jenny memang telah meninggal, tetapi bayi itu? Orok yang dikandungnya? Bisa jadi –meski terlalu dekat jaraknya—aku juga memiliki anak itu. Karena semalaman…Jenny! 
Aku berteriak sendiri. Tanpa mampu menemukan solusi sedikitpun.




Kulihat dari balik jendela yang kusam, gerimis semakin lebat. Secangkir kopi nyaris habis. Empat puntung rokok tersuruk dalam asbak. Pada meja di sudut ruangan itu, aku duduk sendiri. Seperti hari-hari sebelumnya. Tetapi sejak peristiwa itu terjadi, kini aku memiliki alasan lain untuk duduk di meja itu. Terasa gelas cappucino milik Jenny belum kering. Perempuan itu seolah terus mengajakku untuk selalu menemuinya di caffe itu. Kunikmati pertemuan batin yang melegakan itu. Tanpa penyesalan.


Yang lebih penting, aku selalu duduk pada meja di sudut ruangan itu untuk menziarai anak batinku dalam kandungan Jenny. Hal itu harus kulakukan sebagai wujud penyesalan. Maaf…Jenny. Anak itu terlalu suci untuk menanggung beban garis hidup orang tuanya. Aku pesan kopi lagi.
Gerimis bertambah lebat.

LUKA SAHABAT


Senang sekali rasanya bisa masuk perguruan tinggi yang aku dambakan sejak kelas satu SMA. bisa masuk ke fakultas yang menjadi impian ku selama ini. Fakultas Seni, akhirnya namaku terpampang di papan pengumuman sekolahku yang selama ini aku tunggu. senang tiada tara tak mampu berkata - kata. rasa syukur kepada Tuhan tak aku lewatkan.

"Hallo, salam kenal. saya Roby dari Jakarta" kata - katanya yang spontan itu membuat kepalaku terbangun dari meja kecilku di kelas baruku.
"hai. saya Ami." jawabku tersenyum karena senang akhirnya aku mendapat seorang teman baru.
Semakin hari semakin semangat saja untuk datang ke kampus. Entah mengapa sejak perkenalan itu aku selalu ingin melihat Roby buru - buru. menunggu di kantin sekolah adalah cara yang bisa aku lakukan untuk melihat Roby secara diam - diam. kebetulan depan gerbang kantin ini menjadi jalan menuju kelasku.

Setiap hari perkenalanku dengan teman - teman baru menjadi moment yang berharga dan unik yang takkan pernah bisa aku lupakan. Mereka adalah teman - temanku yang baik. Pergeseran alam tlah membuatku memiliki tiga orang yang menjadi teman dekat yang senantiasa hadir memberi warna dalam kehidupanku. Roby, Gia dan Reka. bertemu mereka aku begitu bahagia.

Ini adalah rasa yang timbul secara tiba - tiba dan menjadi pertanyaan dalam benakku. aku menyadari kalau aku suka Gia. Tingkahnya yang kocak yang selalu membuat kami tertawa itulah hal yang aku sukai darinya. Tapi aku putuskan aku tak akan menyatakan ini. Aku tak ingin Gia menjauh dariku dan persahabatan kami hancur begitu saja. Tetap saja setiap kami berkumpul aku tak ingin moment - moment itu segera berakhir dengan waktu.

"Gimana ng-date nya sama dia, seru?" tanya seorang teman yang ku tahu namanya Indra yang membuat jantungku berdebar.
aku hanya bisa bertanya - tanya siapa 'dia' yang Indra maksud? apa Gia sudah punya pacar? siapa?

Sejak berita itu muncul, hatiku jadi semakin tak tenang. setiap langkahku selalu dibayangi dia yang ntah siap itu. tapi itu tak membuatku membenci Gia, karena otak sadarku berpikir tak ada salahnya jika Gia menyukai oranglain.

Selidik demi selidik aku mengetahui siapa dia yang katanya sudah ngdate sama Gia. Dia adalah Mery, masih teman sekelasku. Rupanya kejadian buruk menimpa sahabatku. Gia ditolak cintanya oleh Mery. Ini membuatku sedih. Gia begitu menyukai Mery, itu yang ku tahu. Namun tak ku pungkiri juga kabar ini seakan - akan memecahkan semua kegundahan yang selama ini menghantuiku. aku memang sahabat yang kejam. tapi inilah hatiku.

Tak tega mellihat Gia selalu murung, berubah 180 derajat dari biasanya. selera humornya sepertinya sedang mengalami gangguan. jelas saja itu terjadi. aku tak ingin melihat sahabatku seperti itu. tak hentinya aku, Roby dan Reka menghibur Gia. hingga pernah suatu hari untuk pertama kalinya Gia menyatakan semua perasaannya yang sedang rapuh kepadaku. dia terlihat begitu tersiksa dengan perasaannya. dan aku hanya memberinya beberapa solusi jituku. " cukup Gia, sampai kapan kamu akan seperti ini? ayo bangkitlah! aku yakin kamu bisa lupain Mery. jika jodoh kalian pasti akan bersatu".
****

Pagi itu Roby mendapatiku sedang melamun dan terlihat murung di depan taman kampus. Dia menghampiriku dan menanyakan apa yang terjadi dengan mimik ku yang murung seperti itu. tak lama aku langsung meneteskan air mataku yang suda tak terbendung lagi. saat itu ia memintaku mencurahkan semua isi perasaan yang sedang aku alami. Roby mendengarkanku dan memberiku kata - kata semangat untuk membuatku tersenyum kembali seperti dulu. Hatiku terasa nyaman dekat dengannya. apalagi ia adalah teman pertama di kampusku yang sering aku perhatikan. peringainya yang lembut membuatku sedikit demi sedikit mengaguminya. seharusnya ini tidak aku lakukan terhadapnya. dia adalah sahabatku dan mana mungkin dia bisa menyukaiku. terlebih lagi ada Gia yang aku sukai juga.

Bersahabat dengan laki - laki membuatku bingung. itu yang aku rasakan saat ini. mereka begitu perhatian. toh aku adalah perempuan yang kadang menyalahartikan sikap perhatian mereka. namun ini sudah tak bisa ku pungkiri lagi.

***
"Sini sebentar, ada hal yang harus aku bicarakan denganmu." tanganku baru dia lepaskan saat kami sama - sama duduk di bangku taman kampus.
"ada apa? keliatannya ini darurat". kataku dengan sedikit nyengir berusaha menghilangkan kegugupan dan ketidaksabaranku.
"ini masalah hati." Roby melanjutkan perkataannya dan membuat jantungku berdebar - debar. hampir aku memikirkan hal yang tidak - tidak. namun segera kau buang jauh - jauh pikiran itu.
"Gia suka kamu, Mi".
"apa?" hatiku benar - benar terperanjat mendengar ungkapan Roby. Tapi mengapa harus sekarang ini terjadi. Mengapa berita ini datang ketika aku sudah membuang perasaanku terhadap Gia. Yang kini aku sukai adalah Roby, sahabat yang selalu memberiku solusi untuk setiap masalahku. sahabat yang saat ini ada dihadapanku.
"hello, nona. kenapa ngelamun?" tiba - tiba membuyarkan lamunanku.
"eh, apa? gitu ya? ko aku sih? bukannya dia masih suka Mery dan akan selalu menyukai Mery setiap saat?"
"tanya Gia aja, semalam dia bilang padaku kalo dia menyukaimu. dia selalu ngerasa nyaman tiap deket kamu".
"tapi kita kan sahabatan, By".
"Apa salahnya dengan sahabat. bukankah seharusnya saat ini kau senang Gia akhirnya bisa melihat hatimu".
"apa?" aku semakin tercengang dengan apa yang Roby ungkapkan. Bagaimana dia tahu kalau aku dulu suka dengan Gia. aku tak pernah mengatakan ini kepada siapapun.
***

"hallo". masih dengan rasa heran pada Gia yang tiba - tiba menelponku.
"maaf, seharusnya tadi aku yang ada bersamamu dan mengatakannya".
"ah? ya".
"mungkin, saat ini kau sudah tak menyukaiku lagi. Jangan hawatir, aku hanya ingin kau tahu, sejak aku menangis dihadapanmu gara - gara Mery aku menyadari aku begitu nyaman berada di dekatmu".
"oh, ya". mulutku tak bisa mengeluarkan kata - kata. aku masih heran dengan pernyataannya. mengapa dia bisa tahu kalau dulu aku menyukainya.
"ya, maafin aku Gi, mungkin ini tak mudah bagiku bisa lupain kamu sejak beberapa bulan ini. saat ini aku bisa lupain kamu. Tapi, kamu tetep sahabat aku ko." lanjutku tegang.
"memangnya siapa yang kamu sukai saat ini ?
"ah? apa?" pertanyaannya tak mungkin aku jawab seenaknya. Ini tak mudah aku ungkapkan begitu saja.
"kenapa? tak perlu terburu - buru menjawabnya. aku senang kalau kamu uda punya orang lain yang kamu sukai. karena kalau kau menyukaiku sepertinya kau akan terus terluka olehku".
"Gi, Gi, ini ..."
"tuut tuut tuut" Gia menutup telponnya tiba - tiba.

Malam tlah larut, kejadian hari ini membuatku semakin bingung. seiring kemunculan pernyataan Gia tadi sore, apa aku harus jujur pada Gia? saat ini aku menyukai Roby sahabatnya, sahabatku juga. Ada rasa takut bagaimana jika rasa yang dulu tlah hilang itu kembali dan aku tak ingin persahabatan kami rubuh karena cinta dua hatiku.
***

"Mi, aku suka Roby." pernyataan yang tiba - tiba ku dengar setelah ia duduk de sampingku.
"entah aku yang ke GR-an atau apa, tapi aku ngerasa dia perhatian banget sama aku, salah ga kalo aku suka sahabat sendiri ?" lanjut Reka diakhiri dengan pertanyaan yang sebenarnya aku juga merasakan itu.
"ng?" saat itu aku tak mampu melanjutkan ucapanku aku hanya bisa tersenyum dan memberinya semangat saja karena aku tak ingn terlihat kalau aku juga punya rasa itu dan aku tak ingin dia tahu.
Awalnya aku marah dengan pernyataan Reka, namun aku tak memperlihatkan kemarahanku padanya. bagaimana pun kebahagiaan sahabatku lebih penting. Aku mencoba mengatakan ini pada Roby, tapi tak mungkin. aku takut setelah ini akan terjadi hal buruk yang tak aku inginkan.

Aku ga tahan dengan cerita - cerita yang Reka lontarkan, saat itu aku putuskan untuk memberitahu Roby tentang hal ini tentunya dengan seizin Reka. Roby menanggapi hal ini dengan biasa saja dan aku marah kepadanya. Marah karena dia anggap Reka main - main. Entah apa yang membuatnya seperti ini. Hanya saja ini tak seperti dirinya yang sangat peduli dengan hal - hal didekatnya.

Yang membuatku semakin tidak suka pada sikap Roby adalah dia malah semakin jauh dariku dan Reka. Reka sedih dengan kejadian ini, seharusnya dia tidak menyukai Roby, sahabatnya sendiri, itu yang ada dipikiran Reka saat ini. Dan aku merasa hal ini tak perlu terjadi karena kita sahabat harusnya saling menghargai. Hal ini membuatku semakin penasaran dengan apa yang terjadi sebenarnya pada Roby.
***

"Rob, malam ini mau maen kemana lagi sama dia?" ucap Gia polos.
"dia siapa lagi?" tanyaku dalam hati. Gia, dari wajahnya dia merasa bersalah telah menanyakan hal itu pada Roby yang sebelumnya sudah menyetujui kalau hal ini akan mereka sembunyikan dulu.
"apa yang kalian maksud? jadi, Roby uda punya pacar ya?" tanyaku cetus sambil menghampiri mereka yang duduk di kursi belakang.
"jadi hal ini yang membuat mu tak peduli dengan Reka. Kau anggap kami ini apa? harusnya diantara sahabat itu gada rahasia kaya gini, Rob."
Aku begitu kecewa dengan hal yang memang sepele ini. tapi apa salahnya dia katakan hal ini sejak dulu, setidaknya harapan Reka tak semakin menjadi - jadi terhadapnya.

Beberapa minggu ini hubungan kami tidak begitu baik, saat bertatap muka tak pernah ada senyum lagi yang menghiasi hari kami. Apalagi canda tawa dari mereka, padahal ini yang aku dan Reka rindukan dari mereka. Ini hanya membutuhkan waktu untuk menunggu luka ini menjadi kering. Semoga hal ini cepat berakhir.

Namun yang menjadi hambatan terbesar kami adalah dia yang dikatakan Roby itu tidak menginginkan aku dan Reka kembali dekat dengan Roby. Sungguh aku dan Reka sangat kecewa denga hal ini. Roby tidak tahu hal ini dan kami pun tak ingin Roby tahu. Aku dan Reka hanya mengharapkan yang terbaik untuk kebahagiaan Roby.

Kejujuran dalam persahabatan itu begitu diperlukan. Dan ku harap setiap lelaki dan perempuan yang menjadi sahabat hendaknya saling mngerti dan jangan ada rahasia yang bisa menibulkan perpecahan seperti ini. Semangat.


Senin, 05 Maret 2012











huffh .,.,.,tak ku sangka 

memang benar apa kata orang


sulit tuk mencari kepercaya'an dari orang lain    


sehingga orang yang ku sayang pun masih seperti itu pada ku


apa lagi yang harus ku lakukan  


sungguh sulit  menanam kepercaya'an cinta di hati mu .,.,.
aku sungguh sayang padamu .,.,.
aku bukan cinta padamu .,.,
apa kamu tau apa bedanya sayang dengan cinta .,.,.


kalau cinta itu kan ada cinta monyet dsb cinta kaya anak kecil 
kalau sayang kan gax ada sayang monyet .,,.,,


yang ada aku sayang kamu .,.,








Minggu, 04 Maret 2012






sinar di mata mu 

biarkan kurajut malam 
hingga hening beradu kelam 
 dan kemudian manyatu manjadi satu 

ku sulam nama mu 
di tengah galap hati ku 
agar gelap dalam mimpi ini
tersinari oleh sulaman nama mu 

entah apa yang harus ku ambil 
dari sepercik sinar di matamu 
sadang senyum mu pun
masih tersirat di hati ku 

ku ingin saat malam ini tiba 
bayang mu terselip di ribuan bintang 
yang terus tersenyum memecah kegelaan 

kau tahu .,.,.

entah apa yang harus ku rasa 
yang membuat ku terus penasaran 
apa makna dari rasa ini ????
mungkinkah rasa ini 
adalah titipan dari tuhan 
u/ku persembah kan padamu 







                     LANTUNAN PERASA'AN 




                       BETAPA PILU NYA HATI INI 

                               SAAT KAU MENGATAKAN ITU 
                    MEMBUAT HATI KECIL KU MENANGIS 


            KATA  KATA ITU SELALU TERBAYANG 
                    SULIT RASANYA KU LUPAKAN 
           MENGAPA KAU LAKUKAN ITU PADAKU 
                   APAKAH INI CINTA YANG KAU BERIKAN PADAKU 


           DALAM KEHENINGAN MALAM 
                      KU COBA TUK MERANGKAI SEBUAH KATA 
           SAAT KU SEBUT NAMAMU 
                         DANGAN PENUH RASA CINTA 




          INI BUKAN DONGENG 
                   MELAINKAN TENTANG PERASAAN KU TERHADAP MU 




        Ohh.,.., DINDA DARI AWAL INGIN SEKALI KU KATAKAN 
                 IZINKANLAH AKU UNTUK MERANGKAI 
                             SEBUAH KATA CINTA DI HATI MU